Jumat, 10 Desember 2010

pernikahan

menikah...
Pada suatu hari hp saya berbunyi yang menandakan ada panggilan masuk saya lihat di layar hp tersebut hanya tertera nomor baru, setelah saya angkat terdengara suara yang tidak asing bagi saya dan terjadi obrolan kecil bla...bla....bla....
Setelah pembicaraan tersebut maka sebuah rencana saya buat, yaitu besok lusa saya harus pulang kampung  (lamongan) karena ada sesuatu yang sangat penting walaupun ada beberapa agenda di malang yang harus saya batalkan. Tepatnya pada tanggal 8 hari Rabu Desember 2010 akan dilaksanakan resepsi penikahan sahabat saya  yang sudah saya anggap seperti saudara kandung. sejak kecil (mungkin) umur 12 th saya sudah berteman dengannya dan alhamdulillah pertemanan tersebut masih berlanjut sampai sekarang walaupun pernah terjadi suatu insiden yang hampir membuat kami bermusuhan.
Di desa saya terdapat suatu adat bahwa keberangkatan seorang mempelai (laki-laki) ke tempat mempelai perempuan harus diikuti oleh beberapa orang (rombongan) yang dalam bhs jawa disebut pengiring / iring-iringan, pengiring ini biasanya terdiri dari keluarga dekat, tokoh masyarakat dan beberapa undangan yang dikehendaki oleh mempelai. tidak ada yang istimewa pada acara resepsi tersebut, acarapun berlanjut seperti biasa, diawali dengan pembukaan (sambutan-sambutan), diisi dengan ceramah agama, dan ditutup dengan acara pemberian ucapan selamat (doa) bagi mempelai.
Justru setelah acara tersebut selesai sesuatu yang bagi saya sangat amat istimewa yaitu pada saat sang mempelai laki-laki harus ditinggal sendirian dirumah mertua barunya, ketika para pengiring mulai meninggalkan tempat resepsi tersebut satu-persatu, terdengar bisikan di telingga saya "pik, tolong kamu jangan pulang dulu, temani  aku dulu, aku masih sungkan dan belum kerasan (terbiasa)". itulah omongan temanku yang pertama kali aku dengar setelah perubahan status sosialnya (SUDAH MENIKAH). akhirnya saya pun tidak ikut rombongan pengiring pulang dan menemani temanku tersebut sampai saya rasakan tidak ada lagi kecanggungan yang dirasakan oleh teman ku.
Dari penggalaman tersebut saya muali berfikir bahwa, salah satu yang membuat menikah menjadi suatu pekerjaan yang sakral yaitu persiapan mental. sepandai apapun kita, sekaya apapun kita, dan sekuat apapun kita, kalau mental kita tidak siap untuk menikah atau menjalani bahtera rumah tangga maka, semua persiapan dan kekuatan tersebut akan sia-sia.Karena menikah bukan masalah umur, bukan pula masalah uang. namun menikah menurut saya adalah masalah mental (mental bagi mempelai untuk menjalani bahtera rumah tangga, mental bagi orang tua untuk merelakan anaknya, dan mental bagi negara untuk memberikan dukungan bagi keluarga baru untuk menjalani kehidupan yang layak dengan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkannya).
Saya pun berfikir , jika sejak dini kita diajari tentang bagaimana mempersiapkan mental untuk menikah tentu akan banyak pemuda yang lebih memilih menikah (yang merupakan cara terbaik untuk menyalurkan "fitrah manusia"), dari pada memilih jalan lain seperti pacaran, zina dll.karena sungguh menikah itu mampu mengurangi kesempatan kita khususnya kaum lelaki untuk melakukan dosa.  
Pertanyaannya sekarang, pernahkan kita medapatkan pelajaran mental untuk menikah atau hanya mental untuk berpacaran yang (sangat mudah) kita peroleh ?  dan terlepas dari pertanyaan yang pertama, apakah kita sendiri mau untuk segera belajar bagaimana mempersiapkan mental kita agar kita siap untuk segera melakukan pernikahan (separoh agama) tersebut.

Tidak ada komentar: